Merah Bawang Part 2 |
Ecce terbangun. Dia memeriksa leher jenjang dan kepalanya. "Alhamdulillah ... masih utuh." Gadis bugis itu berembus lega, lalu menengok ruangan yang berdekorasi banyak bunga warna-warni mewah dan dihiasi selaras di dinding yang berselimutkan kain manik-manik. Sinar matanya berhenti menemukan sosok berpakaian melayu.
"Kenapa saya di sini? Bagaimana pestanya?"
Rizal menggeleng layu. "Tenang aja ... semuanya baik-baik aja kok."
"Betulan?"
"Iya bener, bener-bener kamu berhasil membuatku tampak bodoh di depan panggung seorang diri menyalami tamu." Rizal tersenyum. Giginya yang gingsul mulai tampak. "Bukannya anak bugis itu pelaut ulung seharusnya tangguh, ya?" Laki-laki melayu itu menggoda, lalu tertawa. Ecce menyorotkan mata menusuk. Kalau Ecce tidak di rumah mertuanya, dia mungkin sudah menarik lubang hidung Rizal.
"Betulan?"
"Iya bener, bener-bener kamu berhasil membuatku tampak bodoh di depan panggung seorang diri menyalami tamu." Rizal tersenyum. Giginya yang gingsul mulai tampak. "Bukannya anak bugis itu pelaut ulung seharusnya tangguh, ya?" Laki-laki melayu itu menggoda, lalu tertawa. Ecce menyorotkan mata menusuk. Kalau Ecce tidak di rumah mertuanya, dia mungkin sudah menarik lubang hidung Rizal.
Anak semata wayang itu pun kena muntab oleh keluarganya. Bukannya Rizal khawatir, ia malah membully istrinya. Dan baginya itu adalah kebahagiaan.
Keluarga Rizal berkumpul mengitari pasangan baru itu, setelah Ecce membaik. Mereka penasaran, bagaimana si usil Rizal, pemuda melayu minang berjodoh dengan Ecce, gadis bugis anak pelaut ulung yang galak? Rizal pun mulai berkumur-kumur bercerita romantis dengan banyak drama fiksi yang hiperbola, seolah-olah Eccelah yang mengejar-ngejarnya waktu kuliah. Dan Ecce mau muntah karenanya. Ia pun membela diri. Bercerita lebih maha hiperbola lagi.
***
"Gak keren sekali kamu! Jauh-jauh dari kosan, terus kewisudaan malah cuman ngasih bawang." Rizal berkomentar menerima hadiah Ecce dengan susah payah karena tangannya sudah dipenuhi banyak kado, karangan bunga, dan boneka. Sesekali dia mengucek hidungnya yang gatal.
Ecce meminta maaf atas tragedi ablasa iblis, sembari memberi bawang yang telah dipotong menjadi dua bagian. Gadis berkulit ranum itu mengangguk. "Eh, jangan salah! Bawang merah itu toh, obat mujarab untuk menyumbat lubang hidungmu yang sering meler itu!"
Rizal diam. Menelan ludah. Seketika terharu, karena efek dari bawang merah. Adegan itu pun ditonton oleh keluarga Rizal dari kejauhan.
"Oh inilah menantuku," kata salah seorang dari mereka mengambil kesimpulan sepihak.
Maka, kun fayakun.
Maka, kun fayakun.
Sejujurnya memang Rizal cukup terenyuh, aktivis galak ini ternyata peduli padanya kalau dia sering ingusan. Ditambah dorongan oleh keluarga Rizal segera ingin menikahkannya. Sedang, Ecce sendiri, gadis yang begitu santai. Kalau orangtuanya setuju, dia akan menerima--padahal ia juga mau, tapi sok jual mahal. Kesal berkepanjangan pada Rizal, sang playboy cap tikus, menjadikannya simpati. Dari antipati bermetamorfosis empati.
Dan kesederhanaan bawang merah menyandingkan dua perbedaan, menyulap benci menjadi cinta.
No comments:
Post a Comment