Wednesday, May 27, 2020

Novel Kita, Novel Korona Part 1


Novel kita, novel korona. 

Hai ... kalo kalian ketemu dengan korona hari ini aku hanya mau ucapin selamat, karena kalian masih hidup hingga 2020. Ya, seperti aku. Alhamdulillah ... jangan sedih teman, karena kita adalah alumni kiamat 2012, so kita masih punya waktu kan untuk bermanfaat---bukan dimanfaatkan. Dari kata "dimanfaatkan" ini nanti ada kaitannya dengan teman kampusku. Inisial R.

Kembali ke korona. Ini tidak semengerikan yang kalian dengar, novel kita bukan hanya isinya lockdown, wabah, pilek, handsani mahal, masker ditimbun, tapi ini novel tentang aku dan Rendi. Mahasiswa kurus---hidup pulak. 

Kayak lu gak kurus aja, Ren! 
Diam lu, Thor!
Sorry, tadi ada intermejo hehehe, lanjut ya, guys, mumpung si Rendi mungkin lagi mengeram, ayo kita julitin, dia.
Oi ... oi dosa lu, Ren!
Apaan, sih Thor?
Ingat, dosa loh, tahu kiamat dah dekat, nak! Korona sudah merajalela.
Iya-iya, Mama Dedeh ... gampang nanti tinggal istigfhar!
Astagfirullahhh Ren ... Ren ... semoga lu diberi hidayah.

Oh, maaf ya, kalian dah nunggu ceritaku dengan Rendi, maaf ya, authornya soalnya lagi insyaf, mungkin karena korona. Kita lanjut, ya. Udah sampai mana, ya? Tuh, kan lupa
Sampai mahasiswa kurus---hidup pulak, Ren
Ah, iya. Itu. Makasih ya, Thor, dah diingetin, akhir-akhir ini sering pikun, mungkin karena kurang aqua dan kurang julit gara-gara gak ngampus.
Bukan, Ren. Kebanyakan dosa, Ren!

Ah, sudahlah! Jadi tadi kita lagi bahas Rendi, ya. Oke, Rendi adalah mahasiswa sepuh, semester ... uh ... jujur aku gak tahu dia semester berapa, mungkin juga dia gak ingat sudah semester berapa saking setianya dia menunggui kampus. Selain itu, aku juga kadang memanggilnya mahasiswa hantu, kenapa? Bayangkan ... ajaib bin ajaib, tanda tangannya lengkap di absen, padahal batang hidungnya gak ada yang nongol.

Selain itu, dia juga sering nitip nama dan nim pas pengumpulan tugas. Bayangkan. Tugas kelompok pun jadi tugas rasa jomblo. Sakitnya tuh di sini (sambil nunjuk dompet), harus ngeprint sendiri. Dasar cowok tidak bertanggang jawab! Sejak saat itu, aku membold, eh bukan ... maksudnya memblack list dia dalam daftar calon jodohku tahun 2025.

Ah, sok lu! Emang Rendi naksir lu?!
Iya, Thor! Pura-puranya gitu. Biar keren. Thor daripada lu gangguin terus cerita gue, mending sana mandi, gih.
Kenapa?
Biar koronanya takut hehehe
Iya bosquh (Author pergi ambil handuk dan sunlight)

***

Pertamakali bertemu Rendi,

"Ren ...." Salah seorang dosen muda yang mengajar Arsitektur Lingkungan memanggilku. 

"Iya, Pak?" Kami menjawab.

"Eh—" Aku menoleh pada sosok di sampingku, yang serba hitam, kayak orang habis ngelayat, pake jaket jins hitam, juga celana jins, semuanya serba jins, kayaknya orang ini demenannya sama jin, deh! Gumamku bercanda.

“Bukan kamu Renna tapi Rendi.” Pak Firman tersenyum, kemudian bertanya kabar proyek yang dihandle Rendi. Aku menelan ludah. Boleh juga bocah ini, kurus-kurus tapi dia bisa memegang proyek gede skala 4. Ternyata dia punya masa depan yang suram eh maksudku yang cerah.

“Jadi, ini tugas baru kalian.” Pak Firman mengganti slide PPT, menjelaskan dengan wajah ramah dan semangat perihal tugas baru, berbeda dengan teman-teman yang sudah kayak cacing pita, bawaannya lemas, mungkin karena overdosis kerja. Kulirik Rendi agak beda, meski kelihatannya cacingan tapi dia bersemangat.

“Semuanya sudah ditentukan, kan, wilayah surveynya untuk green building. Siapa yang belum dapat kelompok?”

Serentak semua mahasiswa berjumlah 15 anak (kecuali Rendi) berembus, menghela napas panjang … panjang … panjang banget hingga meniup Papi (kayak avatar eeng aja, nih mahasiswa). Oh, iya, Papi adalah nama panggung Pak Firman.

Papi mengulang pertanyaannya.

“Saya, Pak.”

“Oh, Renna.” Pak Firman manggut-manggut, melirik Rendi yang senasib sama aku. Menyedihkan! Menyedihkan memang! Kalo kerja kelompok pasti rasa jomblo! Teman-temanku sudah lulus saat aku melanjutkan kuliah di kampus hijau ini sebagai mahasiswa transfer rasa karyawan. Kami di sini adalah mahasiswa jadi-jadian, gak tulen mahasiswa. Jika hari aktif kami kerja, maka hari libur adalah waktu kami kuliah. Inilah alasan, sering ada mahasiswa hantu yang kadang bergentayangan saat ujian, kadang lenyap seperti ditelan likuifaksi kalo lagi ada kelas dan asistensi.

“Oh, Renna. Kamu kelompokkan sama Rendi, ya?”

Aku ngangguk-ngangguk aja. Aku tahu endingnya akan ke mana. 

Belakangan baru tahu, ternyata Rendi pun senasib sama aku, bedanya teman angkatannya sudah pada lulus, atau kebelet nikah, atau kuliahnya digantung macam ngengantung mantan. Sebenarnya Rendi pun sama!

Pertamakali bertemu Rendi saat aku semester 1, dan sekelompok sama dia, endingnya dia hanya nitip nama dan nim, terus gak pernah nongol lagi sampai negara api menyerang. Kali kedua. Ketemua dia di mushola kampus. Dia begitu buru-buru tuk sholat. Aku berdecak kagum. Dia … dia …. calon imam yang oke.

TAPIII!

Dia ke mushola cuma numpang pipis di toilet!

GUBRAKKK!

No comments:

Post a Comment