Wednesday, May 27, 2020

Nasi Padang dan Pengantar Iftar


“Jangan bilang kalo nasi padang lagi!” Emon segera mengintip isi dari kotak styrofoam yang dipegangnya setelah anak-anak masjid kampus Undip itu pergi. “Yaaa, bener.”

“Kenapa, Mon? Mukamu kayak orang susah gitu? Apa karena iftarnya nasi padang lagi?” tanya Mumun yang sedang menyaring air dengan rendaman semut dalam teko berwarna merah muda.

“Iya, nih! Sudah seminggu kita makan nasi padang. Muka kita juga masih begini-begini aja gak kayak cewek Padang.”

“Udahlah bersyukur! Pantas rejeki lu seret mulu. Kebanyakan ngeluh, sih!”

“Iya-iya Mamah Dedeh!” Emon menaruh dua kotak nasi itu ke atas meja halal di ruang tengah wisma. Gadis berambut ikal itu pun menyiapkan buka puasa dengan menuangkan rebusan kunyit, jahe ke dalam gelas keramik putih. Setelah hangat barulah dia memasukkan madu sesendok dengan menggunakan sendok makan berbahan kayu.

“Eh, aku baru ingat … meskipun rejeki kamu seret tapi ... untuk masalah percintaan. Tidak disangka. Kamu best seller juga. Aku aja sampai sekarang gak percaya.” Mumun tertawa.

“Ya, namanya saja rejeki anak soleh! Mau gimana lagi? Lagian kan ini yang namanya inner beauty!” 

“Pret! Inner beauty jarene.” Mumun berdiri mengambil piring di depannya, menatanya. Lalu menaruh kurma sebanyak enam biji ke atas piring kecil yang akan dibagi duanya dengan temannya, Eva Monita alias Emon.

Adzan pun berkumandang. Mereka pun berbuka dengan air, teh rimpang, kurma, dan semangka—dikasih ibu warung depan. Lalu, segera sholat magrib. Selepas itu, kembali ke meja halal menyantap nasi padang yang kelihatannya menunggu mereka dengan setia. Meskipun di wisma yang cukup besar dan angker itu,, mereka hanya berdua karena semua temannya lagi mudik dan jaman korona, mereka tetap kompak dan berbahagia.

“Mon, yang ngantar iftar tadi Asam, ya?” tanya Mumun membuka topik.

“Azzam, Dul! Bukan asam!”

“Ih, benerrr!”

“Ya, biasa! Cewek cantik mah yang ngantri banyak!” nyengir Emon sambil melahap potongan dada ayam goreng yang disirami santan,

“Huhhh!” Mumun mendorong kepala Eva. Tidak terima! Gadis itu segera meminum teh rimpang untuk mengalihkan aktivitasnya. “Tapi, si Azzam itu istiqomah banget, ya. Sejak hari pertama ramadhan, dia yang nganterin kamu makanan sampai sekarang.”

“Iya, betul! Dia istiqomah banget. Nasi padangnya juga istiqomah!”

“Sudahlah, Mon! Ini juga gratis. Sekarang tuh lagi susah. Lagi jaman korono, harusnya kau bersyukur dapat makanan grastis. Diantarkan pula.”

“Iya-iya, alhamdulillah.”

Mumun melirik sahabatnya, lalu mengernyitkan dahi, “Syukur sih syukur, tapi mukamu tidak meyakinkan gitu. Ada apa, sih? Lagian ya kau ini, disukai sama cowok soleh malah gak digubris, malah mikirnya nasi padang terus, emang kamu kalo sudah lulus gak mau nikah? Mau buka warung nasi padangkah di Makassar?”

Eva Monita menelan nasinya bulat-bulat. Dia tidak menjawab. Hanya terdiam. Tampaknya menikmati iftarnya.

“Kamu kenapa, Mon? Diam gitu! Kesambet jin nasi padang?”

Emon menggeleng. Dia terlihat membuka mulutnya. Lalu menutup lagi. Kemudian membuka lagi. Begitu seterusnya. Membuat teman sepenganggurannya bingung. “Aku mau kasih tahu, ya. Tapi, kamu jangan bilang-bilang.”

“Apa, tuh?” Mumun segera mendekatkan kuping kirinya. Dia sangat penasaran.

“Kasih tahu gak, ya?! Tapi, kamu kan ember!” Emon kelihatan ragu.

“Iya meskipun aku ember tapi aku amanah kok, insya Allah. Beneran!”

“Yaudah deh!” Emon melirik sambal hijau Mumun. “Tapi, sambalmu buatku, ya! Hambar nih rasanya, sambalku udah habis hehehe.”

“Alamak!” Gadis berkulit kuning kecoklatan itu segera menyendok sambalnya, memberikannya pada Eva.

Emon tersenyum gembira. Lalu kembali fokus ke pembicaraan awal. “Masa, ya. Si Azzam itu pernah ngelamar aku pas semester tiga.”

“Uhuk-uhuk-uhuk.” Mumun sontak terbatuk, segera meminum air dalam gelas bergambar ka’bah.

“Biasa aja keles.”

“Terus kau jawab apa?” tanya gadis bermata sipit itu penasaran. 

“Ya, aku gak mau donk!”

“Loh? Kok bisa?”

“Lha jelas! Dia terlalu soleh buat aku!”

“Kamu nolak Azzam karena terlalu soleh?” tanya sahabatnya kaget. Eva Monita mengangguk. “Hebat! Ini pertamakalinya aku nemu kasus, ada cewek yang nolak lamaran karena cowoknya soleh nian!”

“Nah, itu kasusku!”

“Aku takut nanti dikira pake guna-guna buat dapetin Azzam hehehe. Lagian tuh ya, kaihan bener tuh cowok harus mempersunting diriku yang masih begini!”

“Yasudah deh, semoga Azzam menemukan jodoh yang menerima kesholehan Azzam dengan lapang dada seperti aku ini ….”

“Apaaa?”

Jawa Tengah, 06 Mei 2020

Pengangguran yang Bahagia

bukalapak.com
Bagian 1 : Loker Tempat Penitipan Hati

"Yang, nitip, ya." Rigo menyerahkan beberapa ember jumbo yang diseretnya setengah mati masuk ke dalam gerbang beton tinggi yang difinishing cat oranye.
 
"Yang?" 
 
Laki-laki yang sok maskulin itu mengangguk. "Iya. Sayang." Dia berkacak pinggang, heran. "Kenapa?"
 
"Yang-yang, kepala lu peyang!" nyinyir gadis yang memakai mukena bercorak bunga warna biru itu. Rigo tertawa renyah, sambil mendorong barang-barangnya ke depan pintu kayu yang usianya diperkirakan sebelum Indonesia merdeka. "Kamu kalo ada aja maunya, manisnya kayak anggota DPR mau nyalon!"
 
"Udah ya, Yang. Aku ditunggu doi nih." Cowok pemilik senyum manis itu mengindahkan kenyinyiran Mayang.
 
"Eh, gorila! Wismaku itu udah kayak abis kejatuhan bom atom Hiroshima Nagazaki, masih saja kamu recokin dengan barang-barang dari mantan-mantanmu!"
 
Rigo yang hendak menaiki motor scoopy birunya lantas berbalik, dia mengernyitkan dahi. "Loh, kok kamu tahu itu dari mantan-mantanku? Kamu kepoin, ya?"
 
"Hm … dua atau tiga bulan sekali kamu nitip barang beginian, kan!" Mayang mengetuk penutup ember itu dengan sapu ijuk bergagang biru milik wisma.
 
"Yasudah. Daripada kamu cemburuan terus, kamu boleh ambil sesukamu deh." Laki-laki berminyak wangi khas cowok gaul itu telah mengeluarkan motor kebanggaannya dari gerbang wisma. Meninggalkan seorang Mayang dengan senyuman. Dia tahu betul, kalau seorang Mayang, penggila barang gratis.
 
"Apaan tuh, Mba?" Wulan yang lagi mencari pakaiannya di gudang melirik ember jumbo milik Mayang. "Pakaian kotor?"
 
"Gundulmu!"
 
"Aku gondrong loh, Mba hehehe," jawab Wulan santai. "Dari hawa-hawanya ini, pasti dititipin barang mantannya si Mas Rigo, kan?"
 
"Iya dia pikir, aku loker? Tempat penitipan barang!" Mayang menyeret ember hitam itu dengan kaki kurusnya.
 
"Sampai segitunya sih, Mba!" Wulan geleng-geleng lalu tersenyum. "Mba Mayang, tempat penitipan hatinya Mas Rigo hehehe."
 
"Hah?" Gadis itu mengindahkan candaan teman wismanya itu. Ia menggulung mukenanya. Membuka ember angker itu. Isinya barang-barang yang sedikit bernilai duit, yang kira-kira kalau diaulin bisa menabung untuk print tugas gambarnya.
 
Ada boneka teddy bear, bunga kain vynil, beberapa buku, foto-foto yang dicetak, jaket angkatan, hingga almamater. "Apa-apaan ini?" gumamnya. "Jadi begini nasib mantan?"
 
"Kalo dari dulu, si Gorila bilang ngasih aku barang mantannya, pasti aku ikhlas kok." Mayang tersenyum, lalu terhenti. "Tapi kok aku marah, ya?" Dia mengambil foto Rigo dengan seorang gadis yang cukup terkenal di kampusnya, bendahara BEM FT. 
 
Rigo. Teman kecilnya itu selalu saja mencari mangsa cewek-cewek oke! Mulai dari bendahara BEM FT, wakil ketua senat universitas, ketua himpunan, mba-mba pengajaran, hingga seorang dosen! Dan Rigo tidak pernah tahan sama ceweknya, paling lama 6 bulan! 
 
"Mba. Friendzone itu berat, ya," goda Wulan yang lewat hendak mengambil air minum di galon, tampaknya dia telah berganti pakaian. Entah dia meminjam baju siapa lagi, karena baju bersihnya habis, semua pakaian kotornya ada di lantai atas ruang cuci jemur. "Fotonya masih aja dilihatin. Entar kebakar loh, Mba."
 
"Apa sih, Wul."
 
Mayang pun memilah barang-barang mantan Rigo yang sekiranya layak dijual. Tapi, boneka teddy bearnya saja seperti habis terlindas truk. Sepertinya boneka ini waktu hendak dimasukkan ke dalam ember dismeck down dulu sama Rigo.
 
Gadis bermata bulat itu jadi mengenang masa kecilnya, waktu itu dia mengintip dari balik pintu rumahnya yang reyot. Saat tetangganya baru saja pindah rumah persis di depan rumah Mayang yang jaraknya hanya 15 meter. Si kecil Rigo turun dari mobil hitam dengan meloncat, dia berkacak pinggang, memandang ke segala penjuru termasuk gubuk derita Mayang. Rigo melempar senyum. Membuat Mayang membalasnya ceria. Sejak saat itu mereka berteman. 
 
Alasan Mayang berkawan dan lebih sering menghabiskan waktu di rumah Rigo bukan hanya karena Rigo imut, tapi juga karena di rumahnya banyak makanan dan mainan. Mamaknya Mayang pun harus memanggil Mayang pulang saat magrib. Di sisi lain, orang tua Rigo senang, tidak harus mempekerjakan neni untuk mengurus Rigo, meninggalkannya sama Mayang sudah lebih dari cukup. Daripada di rumah, mamanya lebih sering pergi arisan, nongkrong sama ibu-ibu sosialita hingga menghabiskan uang suaminya dengan berbelanja, sedang Bapaknya seorang TNI yang jarang pulang seperti Bang Toyyib, dan keluarga mereka juga hidup nomaden.
 
Sampai pada akhirnya Mayang dan Rigo berpisah saat masuk SMP, lalu dipertemukan lagi di jurusan yang sama di universitas negeri terbaik di Semarang. Mayang tidak percaya, pucuk dicinta ulam pun tiba. Tapi, sayangnya. Rigo tidak seimut dulu, dia sekarang playboy cap tikus! 
 
Lamunannya buyar saat handphone Asus yang berusia 6 tahunnya itu bergetar. Dengan langkah malas, dia mengambil dan membaca WA yang masuk. Dilihatnya foto Rigo memakai masker hitam bargambar kucing.
 
[Eh, May-Maymuna keren, kan? Aku dijahitin masker sama doi loh :)]

Novel Kita, Novel Korona Part 1


Novel kita, novel korona. 

Hai ... kalo kalian ketemu dengan korona hari ini aku hanya mau ucapin selamat, karena kalian masih hidup hingga 2020. Ya, seperti aku. Alhamdulillah ... jangan sedih teman, karena kita adalah alumni kiamat 2012, so kita masih punya waktu kan untuk bermanfaat---bukan dimanfaatkan. Dari kata "dimanfaatkan" ini nanti ada kaitannya dengan teman kampusku. Inisial R.

Kembali ke korona. Ini tidak semengerikan yang kalian dengar, novel kita bukan hanya isinya lockdown, wabah, pilek, handsani mahal, masker ditimbun, tapi ini novel tentang aku dan Rendi. Mahasiswa kurus---hidup pulak. 

Kayak lu gak kurus aja, Ren! 
Diam lu, Thor!
Sorry, tadi ada intermejo hehehe, lanjut ya, guys, mumpung si Rendi mungkin lagi mengeram, ayo kita julitin, dia.
Oi ... oi dosa lu, Ren!
Apaan, sih Thor?
Ingat, dosa loh, tahu kiamat dah dekat, nak! Korona sudah merajalela.
Iya-iya, Mama Dedeh ... gampang nanti tinggal istigfhar!
Astagfirullahhh Ren ... Ren ... semoga lu diberi hidayah.

Oh, maaf ya, kalian dah nunggu ceritaku dengan Rendi, maaf ya, authornya soalnya lagi insyaf, mungkin karena korona. Kita lanjut, ya. Udah sampai mana, ya? Tuh, kan lupa
Sampai mahasiswa kurus---hidup pulak, Ren
Ah, iya. Itu. Makasih ya, Thor, dah diingetin, akhir-akhir ini sering pikun, mungkin karena kurang aqua dan kurang julit gara-gara gak ngampus.
Bukan, Ren. Kebanyakan dosa, Ren!

Ah, sudahlah! Jadi tadi kita lagi bahas Rendi, ya. Oke, Rendi adalah mahasiswa sepuh, semester ... uh ... jujur aku gak tahu dia semester berapa, mungkin juga dia gak ingat sudah semester berapa saking setianya dia menunggui kampus. Selain itu, aku juga kadang memanggilnya mahasiswa hantu, kenapa? Bayangkan ... ajaib bin ajaib, tanda tangannya lengkap di absen, padahal batang hidungnya gak ada yang nongol.

Selain itu, dia juga sering nitip nama dan nim pas pengumpulan tugas. Bayangkan. Tugas kelompok pun jadi tugas rasa jomblo. Sakitnya tuh di sini (sambil nunjuk dompet), harus ngeprint sendiri. Dasar cowok tidak bertanggang jawab! Sejak saat itu, aku membold, eh bukan ... maksudnya memblack list dia dalam daftar calon jodohku tahun 2025.

Ah, sok lu! Emang Rendi naksir lu?!
Iya, Thor! Pura-puranya gitu. Biar keren. Thor daripada lu gangguin terus cerita gue, mending sana mandi, gih.
Kenapa?
Biar koronanya takut hehehe
Iya bosquh (Author pergi ambil handuk dan sunlight)

***

Pertamakali bertemu Rendi,

"Ren ...." Salah seorang dosen muda yang mengajar Arsitektur Lingkungan memanggilku. 

"Iya, Pak?" Kami menjawab.

"Eh—" Aku menoleh pada sosok di sampingku, yang serba hitam, kayak orang habis ngelayat, pake jaket jins hitam, juga celana jins, semuanya serba jins, kayaknya orang ini demenannya sama jin, deh! Gumamku bercanda.

“Bukan kamu Renna tapi Rendi.” Pak Firman tersenyum, kemudian bertanya kabar proyek yang dihandle Rendi. Aku menelan ludah. Boleh juga bocah ini, kurus-kurus tapi dia bisa memegang proyek gede skala 4. Ternyata dia punya masa depan yang suram eh maksudku yang cerah.

“Jadi, ini tugas baru kalian.” Pak Firman mengganti slide PPT, menjelaskan dengan wajah ramah dan semangat perihal tugas baru, berbeda dengan teman-teman yang sudah kayak cacing pita, bawaannya lemas, mungkin karena overdosis kerja. Kulirik Rendi agak beda, meski kelihatannya cacingan tapi dia bersemangat.

“Semuanya sudah ditentukan, kan, wilayah surveynya untuk green building. Siapa yang belum dapat kelompok?”

Serentak semua mahasiswa berjumlah 15 anak (kecuali Rendi) berembus, menghela napas panjang … panjang … panjang banget hingga meniup Papi (kayak avatar eeng aja, nih mahasiswa). Oh, iya, Papi adalah nama panggung Pak Firman.

Papi mengulang pertanyaannya.

“Saya, Pak.”

“Oh, Renna.” Pak Firman manggut-manggut, melirik Rendi yang senasib sama aku. Menyedihkan! Menyedihkan memang! Kalo kerja kelompok pasti rasa jomblo! Teman-temanku sudah lulus saat aku melanjutkan kuliah di kampus hijau ini sebagai mahasiswa transfer rasa karyawan. Kami di sini adalah mahasiswa jadi-jadian, gak tulen mahasiswa. Jika hari aktif kami kerja, maka hari libur adalah waktu kami kuliah. Inilah alasan, sering ada mahasiswa hantu yang kadang bergentayangan saat ujian, kadang lenyap seperti ditelan likuifaksi kalo lagi ada kelas dan asistensi.

“Oh, Renna. Kamu kelompokkan sama Rendi, ya?”

Aku ngangguk-ngangguk aja. Aku tahu endingnya akan ke mana. 

Belakangan baru tahu, ternyata Rendi pun senasib sama aku, bedanya teman angkatannya sudah pada lulus, atau kebelet nikah, atau kuliahnya digantung macam ngengantung mantan. Sebenarnya Rendi pun sama!

Pertamakali bertemu Rendi saat aku semester 1, dan sekelompok sama dia, endingnya dia hanya nitip nama dan nim, terus gak pernah nongol lagi sampai negara api menyerang. Kali kedua. Ketemua dia di mushola kampus. Dia begitu buru-buru tuk sholat. Aku berdecak kagum. Dia … dia …. calon imam yang oke.

TAPIII!

Dia ke mushola cuma numpang pipis di toilet!

GUBRAKKK!